KISAH 2
ORANG SAHABAT
Pada suatu hari , hiduplah 2
orang sahabat karib yang telah bersahabat sejak mereka masih kecil. Satu hari,
mereka berniat u tuk pergi ke sebuah pulau terpencil yang liar dan tidak
berpenghuni. Hal ini untuk menguji siapa di antara mereka yang lebih dekat kepada
ALLAH SWT.
Akhirnya, keduanya telah sampai pada pulau yang dituju. Dan
keduanya berpisah untuk mencari jalan hidup mereka sendiri. Kemudian salah
seorang sahabat memohon kepada ALLAH SWT :
“ Ya Allah, hamba-Mu ini merasa lapar . perkenankanlah hamba
untuk mendapat makanan.” Kemudian ia masuk ke dalam hutan dan ia menemukan buah
– buahan yang sangat segar dan banyak. Dengan nikmat ia menyantap buah- buahan
tanpa memikirkan nasib sahabat nya yang kini sedang kelaparan. Ia menganggap
bahwa ALLAH tidak mendengar doa - doa sahabatnya.
Cuaca di pulau tersebut sangat tidak menentu , mereka sering
tertimpa panas , hujan, angin dan badai. Kemudian salah seorang sahabat kembali
berdo’a .” ya Allah, perkenankanlah hamba untuk mendapatkan tempat berteduh”.
Tak lama ia berjalan , ia menemukan sebuah gubug yang masih bagus dan bisa ia
gunakan sebagai tempat tinggal. Ia tak menghiraukan sahabatnya yang hanya
berteduh dibawah pepohonan yang ada.
Hari demi hari berlalu, sahabat itu kembali berdo’a . “ Ya
Allah, sekian lama hamba hidup disisni seorang diri. Hamba merasa sangat
kesepian , perkenankanlah hamba untuk mendapat pendamping hidup.pada saat ia
sedang mencari makan, dijumapainya seorang gadis muda yang tersesat di hutan
itu, kemudian ia mempersunting gadis tersebut sebagai istrinya tanpa memikirkan
nasib sahabatnya yang kini hidup kesepian tanpa seorang teman.
Akhir cerita , sahabat tersebut memutuskan untuk kembali
pulang ke daerah asalnya bersama dengan istrinya. Ia berdoa pada ALLAH agar
diberi jalan pulang. Dan diapun menemukan sebuah perahu yang terdampar di pulau
tersebut dan akhirnya perahu tersebut digunakannya dengan istri nya pulang
dengan meninggailak sahabatnya yang masih berada di pulau tersebut sendirian.
Pada saat di jalan pulang ia mendengar suara dari langit.” ENGKAU UMAT MANUSIA,
KENAPA ENGAKAU TIDAK MENGAJAK SAHABATMU UNTUK PULANG DENGANMU ?
Sahabat itu menjawab : “ KENAPA AKU HARUS MENGAJAKNYA PULANG ?
DIA TIDAK DEKAT DENGAN ALLAH SWT, TAK SATUPUN PERMINTAANNYA TERKABUL. AKULAH
YANG LEBIH DEKAT DENGAN ALLAH.
Suara ghaib itu menjawab , “ TAK TAHU KAH KAMU BAHWA APA YANG
DIA MINTA SEMUANYA TERKABUL ?”
Sahabat tersebut menjawab : “MEMANG APA YANG DIA MINTA ?
Suara ghaib menjawab , “ SESUNGGUHNYA DIA BERDO’A : “ YA ALLAH KABULKANLAH SEMUA DO’A DAN PINTA
SAHABATKU YA ALLAH !”
Mendengar pernyataan tersebut , sang sahabat menangis tersedu-
sedu dengan penuh penyesalan dan baru ia sadari bahwa sahabatnya selama ini
telah banayk berkorban untuknya.
Saudara- saudara yang berbahagia,
janganlah kita merasa bangga dan merasa telah dekat keada ALLAH ketika IA telah
memberikan segala bentuk kenikmatan kepada kita. Namun, jadikanlah segala
kenikmatan yang telah kita dapat ini sebagai ajang untuk berinstropeksi dan
koreksi diri . tetaplah menjaga toleransi dengan orang di sekitar kita karena
tanpa kita sadari mereka memiliki peran penting dalam kehiduapan kita .
TELADAN DARI SEEKOR BURUNG GAGAK HITAM.
Cerita ini
berawal ketika ada seorang anak yang beranjak remaja dan juga ayah dari anak
tersebut. Pada suatu pagi ketika anak
dan ayahnya sedang berada di depan rumah, hinggaplah seekor burung gagak di
pagar rumah mereka . sang ayah bertanya kepada anaknya.
“ nak, apa itu ?” sang anak menjawab denagn
senyuman manis dan nada yang sangat halus , “ ayah, itu dalah seekor burung
gagak “.
Kemudian sang ayah kembali bertanya , “ nak, apa
itu ?”. sang anak tersenyum dan menjawab , “ ayah, itu adalah burung gagak . “
Sang ayah kembali bertanya . “ nak, itu apa ?”.
sang anak merasa heran dan menjawab “ ayah, itu burung gagak “.
Sang ayah bertanya lagi , “ nak, itu burung apa
?”. sang anak merasa kesal dan menjawab dengan nada tinggi .” AYAH, ITU BURUNG
GAGAK”.
Mendengar jawaban anaknya, sang ayah langsung
masuk rumah dan membuka catatan yang ia tulis 14 tahun lalu, ketika anaknya
baru berusia 2 tahun.
Isi catatan itu adalah :
Pada suatu hari, ketika sang ayah sedang mengajak
bermain anaknya di depan rumah, hinggaplah seekor burung gagak hitam di pagar
rumah mereka .
sang anak pun bertanya pada sang ayah “ ayah, itu
apa ? sang ayah menjawab dengan nada yang sangat halus “ anakku , itu adalah
burung gagak “.
Sang anak kembali bertanya “ ayah, itu apa ?” .
ayah menjawab dengan senyum manis “ nak, itu burung gagak “.
Sang anak tetap bertanya “ ayah, itu apa ?” . sang
ayah tersenyum dan menjawabdengan dengan sabar , “ anakku, itu adalah burung
gagak”.
Pertanyaan tersebut berulang – ulang disampaikan
oleh sang anak, namun sang ayah tetap sabar da teresnyum menjawab pertanyaan
anaknya.
Dari catatan ayah dapat
kita simpulakan bagaimana perbedaan sebuah sikap yang dilayangkan oleh seorang
ayah dan anak. Ayah begitu sabar merawat
kita , segala sifat mulia ia berlakukan kepada kita karena ia tak ingin setetes
air mata jatuh dari pelupuk mata kita sebagai anak. Namun, apa perlakuan kita
kepada ayah kita ? terkadang kita terlalu egois kepada ayah kita. Perlakuan
kasar sering kita layangkan kepadanya. Seakan kita tak pernah memikirkan apa
yang ayah rasakan. Tak sadarkah kita, bahwa tetes keringat darinya adalah
sebuah perjuangan agar kita dapat bahagia, agar kita bisa mndapat apa yang kita
inginkan. Sadarlah, bahwa kita tak bisa hidup tanpa ibu dan ayah kita. Maka
janganlah sekali- kali kita memandang lemah orang tua kita. Sesungguhnya mereka
telah menghadapi pahitnya kehidupan yang belum tentu bisa kita hadapi. Garis
wajahnya telah jelas – jelas menggambarkan kekuatan teramat dasyat. Ia hanya
ingin melihat anak - anaknya bahagia.mski ia tidak sebahagia yang kita
bayangkan. Sadarlah bahwa kita butuh kembali kepadanya.sebelum ajal
menjemputnya , berikanlah kebahgiaan kepada keduanya.hadirkanlah selalu
wajahnya dalam setiap sholat yang kita lakukan. Do’akan kebahagiaan untuknya.
Doakan agar ALLAH memasukannya kedalam surga atas begitu besar pengorbanan yang
ia lakukan untuk kita, anak- anaknya. Merekalah yang telah merawat kita, tanpa
keluh kesah . sebelum terlambat , berikanlah kebahagiaan untuknya.
MAKNA SEBUAH PEKERJAAN.
Seorang eksekutif muda
sedang beristirahat siang di sebuah kafe terbuka. Sambil sibuk mengetik di
laptopnya, saat itu seorang gadis kecil membawa beberapa tangkai bunga
menghampirinya.
“ om beli bunga Om.”
“ tidak dik, saya tidak
butuh. “ ujar eksekutif muda tersebut yang tetap skibuk mengetik.
“ satu saja om, kan
bunganya bisa untuk kekasih atau istri om” . rayu si gadis kecil.
Setengah kesal dengan nada
tinggi karena merasa terganggu, pemuda itu berkata, “ Adik kecil, tidak melihat
om sedang sibuk ? kapan – kapan ya dik kalo om butuh, om akan beli bunga dari
kamu. “
Mendengar ucapan si pemuda,
gadis kecil itupun bealih ke orang – orang yang berlalu – lalang di sekitar
kafe itu. Setelah menyelesaikan makan siangnya, si pemuda segera beranjak dari
kafe itu.saat berjalan keluar kafe itu, ia berjumpa lagi dengan gadis kecil itu
dan kembali mendekatinya dan gadis kecil itu pun berkata , “ om, sudah seleasai
kerka kan ? sekarang beli bunganya dong om ? pinta gadis kecil itu. “ murah kok
om. Satu tangaki saja” tambah gadis kecil itu.
Bercampur antara jengkel
dan kasihan si pemuda itupun mengambil uang dari sakunya dan memberiakn uang
2000-an kepada gadis kecil itu. Si gadis kecil itu pun mengambil uang tersebut
dan memberikan uang tersebut kepada pengemis yang ada di tepi jalan. Si pemuda
itupun mersa heran dan sedikit tersinggung.
“ kenapa kamu tidak
mengambil uang tersebut, malah kamu berikan kepada pengemis itu ? “ tanya si
pemuda itu. Gadis kecil menjawab “ maaf om, saya sudah berjanji pada ibu saya
bahwa saya harus menjual bunga- bunga ini dan bukan mendapat uang dari meminta
– minta. Ibu say selalu berpesan walaupun tidak punya uangkita tidak boleh
menjadi pengemis.”
Pemuda itu tertegun,
betapa ia mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari seorang anak kecil
bahawa kerja adalah sebuah kehormatan, meski hasil tadak seberapa tetapi
keringat yang menetesdari hasil kerja keras adalah sebuah kebanggaan. Si pemuda
itupun akhirnya mengambil dompetnya dan membeli semua bunga- bunga itu. Bukan
karena kasihan, tapi karena semangat kerja dan keyakinan si anak kecil yang
memberinya pelajaran berharga hari itu.
Tidak jarang kita
menghargai pekerjaan sebatas pada uang atau upah yang kita terima . kerja akan
bernilai lebih jika itu menjadi kebanggaan bagi kita. Sekecil apapun peran
dalam sebuah pekerjaan, jika kita kerjakan denagn sungguh – sungguh akan
memberi nilai kepada manusia itu sendiri. Denagn begitu, setiap tetes keringat
yang mengucur akan menjadi sebuah kehormatan yang pantas kita perjuangkan.
Tuhan Beri Aku
Waktu Satu Jam Saja
Tuhan, Beri Aku Waktu Satu Jam Saja
Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota
sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh
kota .
Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu
dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga
ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa
orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan
dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.
Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan
masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota
itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa
mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada
di kantong.
Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang
berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu
jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana
puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh..
Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa
titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu,
sang suami berkata: “Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus
mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini.”
Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.
Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi,
tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.
Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan
suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.
Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan
susu,orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka
pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya. Pada suatu hari, tergerak oleh
semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan
memutuskan untuk bekerja.
Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya,
yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak
ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib
tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya,
agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau
menawarkan gula-gula.
Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan
dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. “Dalam beberapa hari mama akan
mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak
lagi tidur dengan angin di rambut kita”. Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan
penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal
selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di
dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti… Kemudian, dengan mata
basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong
kulit.
Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari,
hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar
berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang
miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami
istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa,
dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota …
Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju
baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah
mewah dipusat kota . Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan
suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri
walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.
Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan
mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana
itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang
terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia
bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz
kemanapun ia pergi.
Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya,dan
bumi terus berputar tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24, Serrafona
dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain
piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia
adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh
seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.
Setahun setelah pernikahan mereka, ayahnya wafat, dan
Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate
sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di
kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang
merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar
mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja
ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang
suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi
itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak
tetapi rambutnya tetap kusam.
Sesuatu di telinga kiri bayi itu membuat jantungnya
berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan
pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan
mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu
dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga
surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu
terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana,
ringan dan bukan emas murni.
Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan
untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting,
di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona
menaruh anting-anting itu didekat foto.
Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan
melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang . Kini tak ada
keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria
wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya
sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama
ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya
berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan
darah ayahnya..
Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat
abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai
kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan
betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih
sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan
dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati
bersama.
Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan
menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: “Geraldo, saya adalah anak
seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah
25 tahun?”
Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa
lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu
lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai
anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu,
Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat
kabar dan kantor catatan sipil..
Ia membentuk yayasan -yayasan untuk mendapatkan data
dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri
dan mencari data tentang seorang wanita.
Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan
apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu
di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona
tidak punya pikiran untuk menyerah..
Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka
terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka
sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib
baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak
terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.
Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih
ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu
berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.
Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya
untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya”.
Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang
wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang
waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah,
600 km dari kota mereka.
Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh
buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan
suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang
gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.
Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia
masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu
dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita
itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna
diculik.
Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan
orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa
tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa
ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu
jawabannya.
Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul
18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan
maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah
menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.”
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi,
dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan
itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi
jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil,
kemudian masih belok lagi kejalanan berikut nya yang lebih kecil lagi. Semakin
lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh
Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu.
“Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”. Ia mulai
berdoa “Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa
saja”.
Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil,
dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya
sebulan saja”. Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang
penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka.
Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: “Tuhan, kalau
sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan“.
Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga
Geraldo memeluknya erat-erat.
Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180
meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di
tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan
sampah dan k anto ng-k anto ng plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring
seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.
Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya
dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat
mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis- pengemis yang segera
memenuhi tempat itu. “Belum bergerak dari tadi.” lapor salah seorang. Pandangan
Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun.
Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu
ibu mertuanya. “Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus
menguatkan hatimu .”
Serrafona memandang tembok dihadapann ya, dan ingat
saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kaki nya dan
ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi
mengingatkan nya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia
melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan
memberinya isyarat untuk mendekat.
“Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, beri
kami sehari…… Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan
memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia….Jadi mama
tidak menyia-nyia kan saya”.
Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu ke dadanya.
Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah
kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang
mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri
ketika ia masih muda.
“Mama.. ..”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa
apa yang ditunggunya tiap malam – antara waras dan tidak – dan tiap hari –
antara sadar dan tidak – kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan
seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.
Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak
sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa
perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya
di dada mamanya.
“Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap
hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan
bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita
bicarakan. Mama jangan pergi dulu… Mama….”
Ketika telinganya menangkap detak jantung yang
melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: “Tuhan Maha Pengasih dan Pemberi, Tuhan
….. satu jam saja…. … satu jam saja…..”
Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja
dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa
penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia….
Arti Kesetiaan
93 Votes
Kisah nyata
yang bagus sekali untuk contoh kita semua yang saya dapat dari millis sebelah
(kisah ini pernah ditayangkan di MetroTV). Semoga kita dapat mengambil
pelajaran.
Ini cerita nyata, beliau adalah Bp. Eko Pratomo
Suyatno, Direktur Fortis Asset Management yg sangat terkenal di kalangan Pasar
Modal dan Investment, beliau juga sangat sukses dlm memajukan industri
Reksadana di Indonesia. Apa yg diutarakan beliau adalah sangat benar sekali.
Silakan baca dan dihayati.
————————————————————————————————–
Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi,
usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam, Pak Suyatno 58 tahun
kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah
tua.Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Mereka dikarunia 4 orang anak.
Disinilah awal cobaan menerpa, setelah istrinya
melahirkan anak keempat tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Itu
terjadi selama 2 tahun. Menginjak tahun ke tiga, seluruh tubuhnya menjadi lemah
bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan
kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum
berangkat kerja, dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa
kesepian. Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya
tersenyum.
Untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh
dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan
siang. Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas
waktu maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja
yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa
menanggapi, Pak Suyatno sudah cukup senang, bahkan dia selalu menggoda istrinya
setiap berangkat tidur.
Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25
tahun, dengan sabar dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah
hati mereka, sekarang anak2 mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yg masih
kuliah.
Pada suatu hari, ke empat anak suyatno berkumpul
dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka
menikah, sudah tinggal dengan keluarga masing-masing dan Pak Suyatno memutuskan
ibu mereka dia yang merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya
berhasil.
Dengan kalimat yang cukup hati-hati anak yg sulung
berkata “Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak
merawat ibu, tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak, bahkan bapak
tidak ijinkan kami menjaga ibu”.
Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan
kata-kata: “sudah yang keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi,
kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak,
dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak. Kami janji
kami akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.
Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga
anak-anaknya: “Anak-anakku… Jikalau perkawinan & hidup di dunia ini hanya
untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah.. tapi ketahuilah dengan adanya ibu
kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian.
Sejenak kerongkongannya tersekat, kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini
dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat dihargai dengan apapun.”
“Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan
keadaannya seperti ini? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak
bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan
bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain? Bagaimana
dengan ibumu yg masih sakit.”
Sejenak meledaklah tangis anak-anak pak suyatno.
Merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh dipelupuk mata ibu Suyatno.
Dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.
Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah
satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan
pertanyaan kepada Suyatno, kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat
Istrinya yang sudah tidak bisa apa-apa.
Disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yang
hadir di studio, kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru.
Disitulah Pak Suyatno bercerita..” Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah
cinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi (memberi waktu, tenaga,
pikiran, perhatian) itu adalah kesia-siaan”.
“Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup
saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya
dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 orang anak
yg lucu-lucu. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama. Dan
itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk
mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi
dia sakit…”
Hidup adalah Perjuangan tanpa henti-henti, tidak usah
kau tangisi hari kemarin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar